Home » » Sejarah Parahyangan

Sejarah Parahyangan

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Etimologi

Priangan atau Parahyangan sering diartikan sebagai tempat para rahyang atau hyang.



Geografi


Priangan saat ini merupakan salah satu wilayah Propinsi Jawa Barat yang mencakup Kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis, yang luasnya mencapai sekitar seperenam pulau Jawa (kurang lebih 21.524 km persegi). Bagian utara Priangan berbatasan dengan Karawang, Purwakarta, Subang dan Indramayu; sebelah selatan dengan Majalengka, Kuningan; dengan Jawa Tengah di sebelah timur dibatasi oleh sungai Citanduy; di barat berbatasan dengan Bogor dan Sukabumi, sedangkan di selatan berhadapan dengan Samudera Indonesia.
Relief tanah daerah Priangan dibentuk oleh dataran rendah, bukit-bukit dan rangkaian gunung: Gunung Gede, Gunung Ciremai (termasuk dalam wilayah administratif Majalengka, Kuningan, dan Ciamis), Gunung Kancana, Gunung Masigit (Cianjur), Gunung Salak (termasuk dalam wilayah administratif Bogor dan Sukabumi); Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Burangrang, Gunung Malabar, Gunung Bukit Tunggul (Bandung); Gunung Tampomas, Gunung Calancang, Gunung Cakra Buana (Sumedang); Gunung Guntur, Gunung Haruman, Gunung Talagabodas, Gunung Karacak, Gunung Galunggung (Garut); Gunung Cupu, Gunung Cula Badak, Gunung Bongkok (Tasikmalaya); Gunung Syawal (Ciamis). Dikelilingi oleh rangkaian pegunungan dan banyak sungai, Priangan adalah wilayah yang sangat subur.




Sejarah

Sebelum jatuh ke dalam kekuasaan Mataram, wilayah Priangan mencakup wilayah antara sungai Cipamali di sebelah timur dan sungai Cisadane di sebelah barat, kecuali wilayah Pakuan Pajajaran dan Cirebon. Setelah kekuasaan Kerajaan Sunda di Pakuan diruntuhkan oleh Kesultanan Banten (1579/1580), wilayah peninggalannya terbagi ke dalam dua kekuasaan: Kerajaan Sumedang Larang dan Kerajaan Galuh. Sumedang Larang yang pusat pemerintahannya di Kutamaya (wilayah barat Kota Sumedang saat ini) dipimpin oleh Prabu Geusan Ulun (1580-1608).

Priangan dibawah Kekuasaan Mataram :
Wilayah dan Pemerintahan

Priangan adalah salah satu daerah di Jawa Barat dengan luas wilayah
lebih-kurang 21.500 kilometer persegi atau kira-kira seperenam dari luas Pulau
Jawa. Wilayah itu di sebelah Utara berbatasan dengan Cirebon dan Jakarta, di
sebelah Timur berbatasan dengan Cirebon dan Banyumas, di sebelah Selatan dan
Barat berbatasan dengan Banten.

Sebelum Priangan jatuh ke dalam kekuasaan Mataram, wilayah itu meliputi daerah antara Sungai Cipamali sebelah Timur dan Sungai Cisadané sebelah Barat, kecuali daerah Pakuan Pajajaran (daerah Bogor sekarang), Jayakarta dan Cirebon.
Pada mulanya di Priangan hanya terdapat dua daerah yang berdiri sendiri, yaitu Sumedang dan Galuh. Sumedang muncul setelah Kerajaan Sunda (Pajajaran) runtuh oleh kekuatan Banten (1579/1580) dalam rangka penyebaran agama Islam.
Setelah peristiwa itu, wilayah Priangan, kecuali Galuh, dikuasai oleh Prabu Geusan Ulun
( 1580 – 1608 ) sebagai raja Kerajaan Sumedang Larang.
Kerajaan itu beribukota di Kutamaya (daerah di sebelah Barat Kota Sumedang sekarang).
Galuh tetap berdiri sendiri di bawah pemerintahan bupati setempat.

Tahun 1595 Galuh dikuasai oleh Mataram di bawah pemerintahan Sutawijaya (Penembahan Senopati ) yang memerintah Mataram tahun 1586-1601.

Setelah Prabu Geusan Ulun wafat, pemerintahan Sumedang Larang diteruskan oleh anak tirinya, Radén Aria Suriawangsa (1608-1624).
Sementara itu kekuasaan di Mataram sudah beralih ke tangan Sultan Agung (1613-1645) dan Mataram berkembang menjadi negara kuat.
Pada masa pemerintahan Radén Aria Suriawangsa itulah Kerajaan Sumedang Larang Sumedang Larang berubah menjadi Kabupaten Sumedang, akibat Radén Aria Suriadiwangsa berserah diri kepada Mataram. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1620 dan wilayah Sumedang Larang kemudian disebut Priangan.

Mengapa Radén Aria Suriadiwangsa berserah diri kepada Mataram ?
Ada dua faktor utama yang mendorong Radén Aria Suriadiwangsa bersikap demikian.

Pertama, ia merasa bahwa Sumedang Larang terjepit di antara
tiga kekuataan, yaitu Mataram, Banten, dan Kompeni di Batavia. Oleh karena itu,
ia harus menentukan sikap tegas bila tidak ingin menjadi bulan-bulanan dari ketiga kekuatan tersebut.

Kedua, ia masih mempunyai hubungan keluarga dengan penguasa Mataram dari pihak ibunya, Ratu Harisbaya.
Bagi pihak Mataram, hal itu merupakan keuntungan besar.
Penyerahan diri Radén Aria Suriadiwangsa berarti seluruh wilayah Priangan ditambah daerah Karawang berada di bawah kekuasaan Mataram.
Penguasa Mataram dapat menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanan di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan pasukan Banten atau Kompeni yang berkedudukan di Batavia.

Untuk mengawasi wilayah Priangan dan mengkoordinasi para kepala daerahnya, Sultan Agung mengangkat Radén Aria Suriadiwangsa menjadi Wedana Bupati Priangan (1620-1624) merangkap sebagai bupati Sumedang, dengan gelar Pangéran Rangga Gempol Kusumadinata III, terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I.
Sejak itulah di Priangan terdapat jabatan atau pangkat bupati dalam arti kepala daerah, dengan status sebagai pegawai tinggi dari statu kekuasaan.

Pada waktu Rangga Gempol I menjalankan perintah Sultan Agung untuk menaklukkan daerah Sampang (Madura) tahun 1624, jabatan Wedana Bupati Priangan diwakilkan kepada adiknya, Pangéran Rangga Gedé. Sementara itu Banten mengadakan serangan ke Sumedang. Pangéran Rangga Gedé tidak mampu mengatasi serangan tersebut. Akibatnya ia mendapat sanksi politis dari Sultan Agung dan ditahan di Mataram.
 Sultan Agung menyerahkan jabatan Wedana Bupati Priangan kepada Dipati Ukur, penguasa Tanah Ukur yang berpusat di daerah Bandung Selatan sekarang.
Waktu itu, wilayah kekuasaan Dipati Ukur meliputi Sumedang, Sukapura, Bandung, Limbangan, sebagian daerah Cianjur, Karawang, Pamanukan, dan Ciasem.

Pengangkatan Dipati Ukur disertai syarat, ia harus sanggup merebut Batavia dari Kompeni.
Dipati Ukur ternyata gagal melaksanakan tugasnya merebut Batavia (1628).
Dipati Ukur menyadari akibat kegagalannya, yaitu ia pasti mendapat hukuman berat dari Sultan Agung. Oleh karena itu, Dipati Ukur beserta sejumlah pengikutnya memberontak terhadap Mataram.
Pihak Mataram baru berhasil menumpas pemberontakan Dipati Ukur sekitar awal tahun 1632, itu pun berkat bantuan beberapa orang kepala daerah di Priangan.
Sementara itu, jabatan Wedana Bupati Priangan diserahkan kembali kepada Pangéran Rangga Gedé yang telah dibebaskan dari tahanan.
Untuk mengembalikan stabilitas politik di wilayah kekuasaan Mataram bagian Barat yang mengalami kekalutan akibat pemberontakan Dipati Ukur, Sultan Agung melakukan reorganisasi pemerintahan di wilayah tersebut.

Daerah Karawang, lumbung padi dan garis depan pertahanan Mataram bagian Barat,
dijadikan kabupaten, tetapi statusnya tetap berada di bawah kekuasaan Wedana Bupati Priangan.
Wilayah Priangan Tengah dibagi menjadi empat kabupaten, masingmasing di bawah kekuasaan seorang bupati.
Kabupaten Sumedang diperintah oleh Pangéran Dipati Rangga Gede, merangkap sebagai Wedana Bupati Priangan.
Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Sukapura, Bandung, dan Parakanmuncang.

Untuk memerintah tiga kabupaten yang disebut terakhir, Sultan Agung mengangkat tiga orang kepala daerah yang berjasa membantu menumpas pemberontakan Dipati Ukur, yaitu

  1. Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta menjadi Bupati Sukapura  dengan gelar Tumenggung   Wiradadaha,
  2. Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti menjadi Bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, dan
  3. Ki Somahita Umbul Sindangkasih menjadi Bupati Parakanmuncang dengan gelar Tumenggung Tanubaya.

Pengangkatan ketiga orang bupati tersebut dinyatakan dalam piagem bertitimangsa 9 Muharam Tahun Alip.

Sementara itu, Galuh juga dipecah menjadi empat daerah, yaitu :
Utama, Bojonglopang (Kertabumi), Imbanagara, dan Kawasén.
Daerah-daerah tersebut termasuk wilayah Priangan Timur.

Setelah Sultan Agung wafat (1645), puteranya, Sunan Amangkurat I atau Sunan Tegalwangi (1645-1677) meneruskan kebijakan ayahnya mengadakan reorganisasi.

Antara tahun 1656 -1657 Amangkurat I membagi wilayah Mataram bagian Barat menjadi 12 ajeg (kira-kira setara dengan kabupaten).

Keduabelas ajeg itu, sembilan di antaranya berada di wilayah Jawa Barat, yakni :

1. Sumedang diperintah oleh Pangéran Rangga Gempol II
2. Parakanmuncang diperintah oleh Tumenggung Tanubaya.
3. Bandung diperintah oleh Tumenggung Wiraangunangun.
4. Sukapura diperintah oleh Tumenggung Wiradadaha.
5. Karawang diperintah oleh Tumenggung Panatayuda.
6. Imbanagara diperintah oleh Ngabéhi Ngastanagara.
7. Kawasén diperintah oleh Mas Managara.
8. Wirabaja (Galuh ).
9. Sekacé.

Tiga ajeg lainnya, yaitu Banyumas, Ayah (Dayeuhluhur), dan Banjar (Panjer)
masuk ke dalam wilayah Jawa Tengah.

Mataram melakukan reorganisasi tersebut karena melihat kedudukan Kompeni di Batavia semakin kuat dan Banten melebarkan kekuasaannya ke arah Timur, sedangkan wilayah Priangan, terutama Priangan Tengah masih dalam keadaan kacau akibat pemberontakan Dipati Ukur. Oleh karena itu, Priangan Barat harus diperkuat.
Reorganisasi ini sekaligus menghapus jabatan wedana bupati di Priangan (kira-kira tahun 1657).
Wedana Bupati Priangan terakhir adalah Pangéran Rangga Gempol Kusumadinata               ( Rangga Gempol III/ Pangéran Panembahan, bupati Sumedang periode (1656 – 1706).

Sejak jabatan wedana bupati dihapuskan, kedudukan Bupati Sumedang yang semula paling tinggi di antara bupati-bupati di Priangan, sehingga mendapat gelar “pangéran” menjadi sederajat dengan bupati Priangan lainnya. Mereka sama-sama sebagaiministeriales yang menjadi perantara raja Mataram dengan rakyat Priangan.

Kedudukan dan Kekuasaan Bupati

Dengan dikuasainya wilayah Priangan oleh Mataram, maka kedudukan
penguasa daerah di wilayah itu menjadi turun derajatnya, dari bupati dalam arti
raja yang berdaulat penuh atas daerah dan rakyatnya, menjadi bupati vassal dalam
arti pejabat tinggi yang wajib mengabdi kepada raja Mataram.
Kerajaan Islam Mataram terdiri atas pusat kerajaan dan daerah-daerah vassal.
Pusat kerajaan diperintah langsung oleh raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan daerah-daerah vassal diperintah oleh para bupati.

Pusat kerajaan terbagi atas dua daerah, yaitu Kutagara atau Kutanagara dan Negara
Agung atau Negara Gedé. Daerah Kutagara dibagi lagi dalam dua bagian pemerintahan, yaitu Peprintahan Lebet (pemerinatahan dalam istana) dan Peprintahan Jawi (pemerintahan luar istana).

Pemerintahan sehari-hari pada Peprintahan Lebet dilakukan oleh empat orang wedana lebet – bergelar tumenggung ataupangéran, apabila mereka masih keturunan raja di bawah pengawasan seorang patih lebet.
Keempat wedana lebet itu ialah wedana gedong kiwawedana gedong tengenwedana keparak kiwa, dan wedana keparak tengen.

Dalam menjalankan tugasnya, keempat wedana itu masing-masing dibantu oleh beberapa pejabat bawahan, yakni seorangkliwon (sering disebut juga papatih atau lurah carik), seorang kebayan dengan gelar ngabéhirangga atau radén, dan  seorangmantri jajar.

Di samping wedana lebet terdapat dua orang tumenggung dengan pangkat wedana miji yang diangkat oleh dan berada di bawah perintah langsung raja.
Kedudukan pejabat tersebut cukup penting, dan bersama-sama dengan keempat wedana lebet, mereka merupakan anggotaDewan Tertinggi Kerajaan.

Daerah Negara Agung terdiri atas delapan bagian, masing-masing dikepalai oleh wedana jawi (wedana luar) yang berada di bawah koordinasi seorang patih jawi.

Kedelapan wedana jawi masing-masing mendapat sebutan sesuai dengan nama daerah kekuasaannya, yaitu wedana bumi,wedana bumija, wedana séwu, wedana numbak anyar, wedana siti ageng kiwa, wedana siti ageng tengen, wedana panumping, dan wedana panekar. Sama halnya dengan wedana lebetwedana jawi pun memiliki pegawai bawahan yang sebutan dan jumlahnya sama seperti pembantu wedana lebet.

Wilayah kekuasaan Mataram di luar daerah pusat kerajaan (Kutaraga dan Negara Agung) dibagi dalam empat daerah, yakni :
Mancanegara Wétan,
Mancanegara Kilén,
Pesisiran Wétan , dan
Pesisiran Kilén.
Masing-masing daerah dikepalai oleh seorang wedana bupati atau lebih, dengan status sebagai bupatikepala dari kabupaten-kabupaten yang termasuk dalam wilayah wewenangnya.

Tiap kabupaten diperintah oleh bupati yang membawahi beberapa kelurahan atau
patinggén.
Bupati dan para pejabat bawahannya, masing-masing memiliki pegawai sesuai dengan urusan pemerintahannya.
Dilihat dari struktur birokrasi Kerajaan Mataram, bupati-bupati di Priangan waktu itu termasuk ke dalam kategori pejabat (elit birokrasi) tingkat menengah.
Kedudukan mereka sejajar dengan bupati-bupati di daerah mancanegara lainnya Namun demikian, tidak berarti bahwa bupati adalah pegawai kerajaan.
Bupati di daerah mancanegara, termasuk bupati di Priangan, adalah kepala daerah yang berkuasa penuh atas daerah dan rakyatnya.
Sistim pemerintahan dan gaya hidup mereka di daerah masing-masing merupakan
bentuk miniatur dari keraton.
Mengapa bupati di Priangan dan bupati-bupati di daerah mancanegara umumnya memiliki kekuasaan besar? Padahal secara politis, mereka berada dalam jangkauan kekuasaan raja Mataram. 
Ada dua faktor dasar yang menyebabkan bupati di daerah mancanegara memiliki kekuasaan besar.
Pertama, karena struktur pemerintahan Mataram merupakan garis hirarki, terdiri atas unit-unit kekuasaan yang terpisah-pisah. Dari atas ke bawah, struktur kerajaan didasarkan atas prinsip pelimpahan kekuasaan yang menyeluruh. Tanggungjawab atas tiap unit terletak pada satu tangan, yaitu kepala daerah setempat.
Oleh karena itu, setiap penguasa daerah mempunyai kekuasaan penuh di daerahnya secara hirarkis dan dimensional. Meskipunwilayahnya kecil, tetapi kekuasaan kepala daerah bersifat proporsional, meliputi bidang kekuasaan yang hampir sama luasnya dengan kekuasaan raja, kecuali hukum pidana mati yang menjadi hak prerogatif raja.

Kedua, besarnya kekuasaan kepala daerah di mancanegara disebabkan pula oleh beberapa kondisi, yaitu letal daerahmancanegara jauh dari pusat kekuasaan dan belum ada sarana transportasi dan komunikasi yang memadai. Perjalanan dari pusat kekuasaan Mataram ke 
daerah-daerah mancanegara cukup sulit dilakukan, apalagi di musim hujan.
Faktor-faktor tersebut menyebabkan penguasa Mataram sulit mengawasi para
kepala daerah mancanegara.

Sistim pemerintahan Mataram yang didasarkan pada prinsip pelimpahan kekuasaan dalam unit-unit kekuasaan yang terpisah-pisah, juga menyebabkan kekuasaan raja tidak merata di seluruh wilayah kerajaan. Di daerah-daerah yang terletak jauh dari pusat kerajaan, kekuasaan raja cenderung menjadi lemah. Secara teori, “kekuasaan akan menjadi sangat lemah justru pada titik di mana daerah kekuasaan menyatu dengan daerah tetangganya”. Hal ini berlaku bagi daerah Priangan yang berbatasan langsung dengan pusat kekuasaan lain, yaitu Banten.

Dengan demikian, tidaklah heran apabila bupati-bupati di daerah Priangan waktu itu memiliki kekuasaan besar di daerah kekuasaan masing-masing.
Di bawah pemerintahan Mataram, para bupati di Priangan berkuasa seperti raja.
Kehidupan mereka mirip dengan kehidupan raja dalam ukuran lebih kecil.
Setiap bupati memiliki simbol-simbol kebesaran, seperti songsong (payung kebesaran ), pakaian kebesaran, senjata pusaka,kandaga (kotak perangkat upacara kebesaran ), kuda tunggang, dan lain-lain.

Mereka juga memiliki pengawal khusus dan prajurit bersenjata.

Atas dasar itu, dalam pandangan rakyat, bupati memiliki otoritas penuh, baik sebagai kepala daerah maupun sebagai pemimpin tradisional. Hal itu berarti bupati di Priangan seolah-olah berfungsi dan berperan sebagai wakil penguasa Mataram.
Dalam struktur masyarakat Priangan waktu itu, bupati adalah elit penguasa
dan golongan ménak (priyayi). Mereka menduduki posisi tertinggi, baik dalam
hirarki pemerintahan maupun dalam struktur masyarakat.

Bupati di Priangan biasa disebut dalem atau pagustén oleh rakyat daerah setempat.
Sebagai penguasa daerah, bupati menempati dua posisi utama.
Pertama posisi bupati terhadap raja selaku tuannya. Kedua, posisi bupati terhadap rakyat
yang berada di bawah kekuasaannuya. Dalam posisi pertama, hubungan bupati dengan raja terbatas pada persembahan upeti tiap tahun, menghadap raja di istana pada waktu-waktu tertentu; misalnnya pada hari-hari upacara Grebeg atau memberi bantuan bila diminta oleh raja, seperti, bantuan tenaga untuk perang atau menaklukkan suatu daerah.

Contoh, bantuan Bupati Sumedang Rangga Gempol I dalam menaklukkan Sampang (1624) dan bantuan Dipati Ukur dalam serangan ke Batavia. Kewajiban-kewajiban bupati itu merupakan cara bagi raja untuk mengetahui seberapa besar loyalitas para bupati terhadapnya.
Terhadap rakyat, bupati adalah penguasa dengan otoritas tertinggi untuk memerintah, melindungi, mengadili, memelihara keamanan dan ketertiban.
Dalam menjalankan fungsi itu, bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahan, yaitu
demang, patih, kepala cutak (wedana), camat, patinggi (lurah/kepala desa), dan
lain-lain. Pengangkatan pejabat-pejabat tersebut bersifat nepotisme, karena pejabat-pejabat itu biasanya masih keluarga bupati.

Tinggi-rendahnya kedudukan dan besar-kecilnya kekuasaan seorang bupati, tidak diukur dari luas wilayah kekuasaan, melainkan dari jumlah cacah yang dimilikinya. Bagi bupati, cacah sangat penting artinya, tetapi bukan untuk prajurit, melainkan untuk keperluan keuangan (fiskal). Besarnya pendapatan dan jumlah pelayan bupati akan tergantung dari jumlah cacahnya. Hal itu berarti jumlah cacah penting artinya sebagai salah satu faktor penunjang kedudukan penguasa.

Menurut Anderson, jumlah cacah merupakan salah satu sumber kekuasaan bagi pemilik cacah. Pemusatan populasi-populasi besar di sekitar penguasa merupakan pertanda terbaik yang menunjukkan ia memiliki kekuasaan yang daya tarik magnetisnya mengungkapkan, bahwa penguasa itu tetap memiliki wahyu.

Pendapat ini didasarkan pada konsep tradisional masyarakat Jawa yang menganggap bahwa seorang kepala daerah tentu masih keturunan raja atau bupati sebelumnya, bahwa penguasa (raja dan bupati) adalah orang yang mendapat pulung atauwahyu, yaitu orang yang terpilih oleh Tuhan untuk memimpin rakyat di wilayah kekuasaan masing-masing.
Pandangan rakyat akan kedudukan raja atau bupati itu, rupanya berasal dari unsur-unsur kepercayaan pra Islam (antara lain Hindu), yaitu anggapan tentang penjelmaan (reinkarnasi) para leluhur ke dalam diri raja. Mungkin atas dasar itu pula di Priangan, bupati biasa dijadikan awal silsilah keturunan.

Bahwa cacah sangat penting artinya bagi bupati, antara lain terbukti bila cacah pindah ke daerah kabupaten lain, mereka tetap dipertahankan sebagai milik bupati yang semula menerima cacah itu dari raja. Demikian pula apabila cacah dari satu kabupaten membuka lahan di wilayah kabupaten lain, maka lahan itu dianggap milik bupati yang menguasai cacah yang membuka lahan tersebut.

Dengan demikian, di dalam wilayah kekuasaan bupati kadang-kadang terdapat “daerah kantong” (enclave) milik bupati lain. Hal ini ada kalanya menimbulkan konflik di antara bupati yang berkepentingan. Misalnya, konflik antara bupati Prakanmuncang dengan bupati Sukapura mengenai status cacah dan tanah Taraju.
Dalam kasus seperti itu rajalah yang berhak memberi keputusan.
Hal tersebut menunjukkan, bahwa kedudukan bupati dalam hirarki pemerintahan
Mataram tidak lebih dari ministeriales yang harus taat pada putusan atasan (raja
Mataram). Kendatipun demikian, di daerahnya bupati berkuasa penuh dan memegang kepemimpinan tradisional yang diakui oleh masyarakat secara konsensus karena ikatan feodal.
Kedudukan dan kekuasaan bupati diperkuat lagi oleh hak istimewa bupati untuk mewariskan jabatan.
Salah satu bukti bahwa bupati di Priangan mendapat hak mewariskan jabatan dan berkuasa penuh atas daerahnya, adalah Piagam Sultan Agung bertitimangsa 9 Muharam tahun Jim Akhir yang diberikan lepada bupati Sukakerta. Dalam piagam itu antara lain disebutkan hak bupati menguasai daerah sampai tujuh keturunan.
Selain mendapat hak mewariskan jabatan, bupati juga memperoleh hak memungut pajak berupa uang, barang, tenaga kerja (ngawula), berburu, menangkap ikan, dan mengadili  (kecuali hukum pidana mati).
Tinggi-rendahnya kedudukan bupati dalam pemerintahan dapat diketahui dari gelar kepangkatan yang disandangnya. Hirarki kepangkatan bupati dari bawah ke atas adalah : tumenggung – aria – adipati – pangéran.
Gelar tumenggung diperoleh secara langsung pada waktu diangkat menjadi bupati,
sedangkan gelar aria, adipati, dan pangéran diperoleh karena kondite yang baik dan telah menunjukkan jasa yang pantas dihargai
Selain memiliki gelar kepangkatan, bupati di Priangan juga memiliki gelar kepriyayian, yaitu radén.
Gambaran konkrit dari besarnya kekuasaan, wibawa, pengaruh, dan kharisma pribadi bupati antara lain acara “Senénan”, yaitu perjalanan dinas bupati pada hari Senin di wilayah kekuasaannya. Dalam perjalanan itu, bupati kuasa untuk meminta apa saja milik rakyat yang disenanginya. Di Priangan acara itu disebut “Nyanggrah”.
Biasanya permintaan bupati itu dinyatakan secara halus dan bersifat diplomatis. Misalnya, apabila bupati menghendaki kuda bagus milik lurah (kepala desa), cukup dengan memuji kebagusan kuda itu dan menggunting bulu surinya. Pemilik kuda pun tanggap, bahwa bupati menginginkan kudanya. Ia menyerahkan kuda itu dengan perasaan bangga, karena
mendapat perhatian besar dari panutannya. Dalam hal ini, konsep raja kuasa atas segala-galanya membenarkan akan sikap-sikap tersebut.
Acara lain yang cukup penting dalam kehidupan bupati ialah séba, yaitu menghadap bupati pada waktu tertentu bagi kepala-kepala daerah bawahannya.
Menurut Moertono, arti simbolis dari séba ialah “tanda umum akan tunduknya seseorang terhadap kewibawaan dan kekuasaan seorang atasan”yang dalam hal ini adalah bupati.
Simbol-simbol status, atribut-atribut kebesaran, mitos geneologi, pulung (wahyu), upacara kebesaran, acara-acara khusus, hak istimewa, dan lain-lain, merupakan bentuk simbolis dan bentuk nyata yang memperkokoh kedudukan, wibawa, dan pengaruh bupati sebagai penguasa daerah. Hal itu berarti Mataram telah menumbuhkan feodalisme pada diri bupati, sehingga hubungan antara bupati dengan rakyat pun terjalin dalam ikatan feodal yang melembaga menjadi tradisi. 


Faktor itulah yang dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pihak kolonial dalam melaksanakan politik eksploitasi ekonomi di Priangan khususnya dan di Pulau Jawa pada umumnya.

Kedudukan dan Peranan Bupati di Priangan
Pada Zaman Kolonial

Zaman Kekuasaan Kompeni

Setelah Sultan Agung meninggal (1645), Mataram berangsur-angsur menjadi lemah akibat kemelut yang terjadi di dalam kerajaan dan serangan dari luar.
Kompeni (VOC) campur tangan, akibatnya seluruh wilayah kerajaan Mataram jatuh ke dalam kekuasaan Kompeni pada tahun 1757.
Wilayah Priangan jatuh ke tangan Kompeni dalam dua tahap akibat perjanjian Mataram -Kompeni tahun 1677 dan 1705.
Pada tahap pertama (perjanjian 19-20 Oktober 1677) Kompeni memperoleh wilayah Priangan Barat dan Tengah.
Pada tahap kedua (perjanjian 5 Oktober 1705) Kompeni menguasai wilayah Priangan Timur dan Cirebon.
Pada mulanya Mataram menyerahkan daerah Priangan kepada Kompeni hanya sebagai pinjaman. Oleh karena Mataram bertambah lemah, maka penguasa kerajaan itu makin sering meminta bantuan Kompeni. Akibatnya Kompeni berkuasa penuh atas wilayah Mataram termasuk Priangan.
Sesuai dengan sistim pemerintahan tak langsung yang dianutnya, Kompeni dengan piagam tanggal 15 November 1684 mengangkat kepala-kepala daerah di Priangan untuk memerintah daerah masing-masing atas nama Kompeni.
Pengangkatan kepala-kepala daerah itu disertai oleh pemberian sejumlah cacah, sebagai berikut :

1. Pangéran Sumedang : 1015 cacah
2. Demang Timbanganten : 1125 cacah
3. Tumenggung Sukapura : 1125 cacah
4. Tumenggung Parakanmuncang : 1076 cacah
5. Gubernur Imbanagara : 708 cacah
6. Gubernur Kawasén : 605 cacah
7. Lurah-lurah Bojonglopang : 20 cacah dan 10 desa.

Kompeni memahami, bahwa bupati – yang memiliki wibawa dan pengaruh besar terhadap rakyat – sangat penting fungsi dan peranannya bagi keberhasilan politik dagang dan eksploitasi Kompeni. Akan tetapi, penguasa Kompeni pun menyadari, bahwa pengangkatan salah seorang bupati di Priangan menjadi bupati kepala, mungkin akan menimbulkan konflik di antara bupati seperti yang terjadi pada zaman kekuasaan Mataram atau masalah lain. Atas dasar itu, Kompeni memilih penguasa pribumi di luar Priangan yang dianggap cakap, dapat dipercaya, serta memahami permasalahan bupati dan rakyat pribumi.
Dengan besluit tanggal 19 Februari 1706, Kompeni mengangkat Pangéran Aria Cirebon menjadi Bupati Kompeni. Tugasnya adalah mengawasi dan mengkoordinasi bupati-bupati di Priangan, agar mereka melaksanakan kewajibankewajiban terhadap Kompeni dengan tertib dan lancar.
Pengangkatan Bupati Kompeni untuk wilayah Priangan, tidak berarti Kompeni mengadakan perubahan drastis dalam sistim pemerintahan di daerah tersebut.
Pada awal kekuasaannya, Kompeni hanya menuntut agar kekuasaan Kompeni diakui oleh para bupati, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC.
Bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain.
Sebagai objek kekuasaan dan tidak memiliki kekuatan, para bupati menerima tuntutan Kompeni, asal kedudukan mereka tetap utuh. Memang Kompeni tidak menggangu fungsi bupati, bahkan membiarkan bupati memiliki hak-hak istimewa seperti pada waktu di bawah kekuasaan Mataram. Hal itu berarti Kompeni pun menjadikan para bupati sebagai ministeriales, bahkan Kompeni “melindungi” struktur politik dan sosial pribumi.
Dengan “perlindungan “ dan kebijakan Kompeni itu, para bupati memiliki otoritas penuh dan memerintah daerahnya secara otokratis. Dalam status sebagai penguasa daerah dan pemimpin tradisional, bupati menjalankan kekuasaan pribadi atas rakyat, dibantu oleh para pejabat bawahan seperti pada zaman Mataram dengan loyalitas pribadi terhadap bupati. Sistim pemerintahan serta gaya hidup bupati di Priangan sampai waktu itu, masih tetap merupakan replika raja-raja Jawa. Baik dalam hal pakaian maupun dalam tatacara kebupatian lainnya adalah tatacara bupati Jawa. Setiap kabupaten merupakan tempat tinggal keluarga bupati dan sanak keluarganya.
Mereka dilayani oleh sejumlah pelayan tetap dan tenaga kerja wajib (kawula) yang berganti-ganti setiap hari. Namun demikian, pada umumnya bupati dapat hidup mewah. Makin intensifnya ekploitasi Kompeni
menyebabkan penghasilan bupati pun makin bertambah, yaitu dari presentase dan
hadiah-hadiah di luar penghasilan resmi (hasil berbagai pajak).

Kompeni memberi presentase dan hadiah kepada para bupati, bukan berarti Kompeni baik hati, tetapi mengandung tujuan agar para bupati mematuhi aturan dan melaksanakan tugas serta kewajiban bagi kepentingan Kompeni, yaitu :

1. Melaksanakan penanaman kopi, lada, tarum (nila), kapas dan lain-lain.
2. Tiap tahun menyerahkan hasil panen tanaman tersebut kepada Kompeni, dan mengurus pengangkutannya.
3. Bertanggungjawab atas jumlah pohon kopi yang harus dipelihara, dan menyerahkan hasil panennya dalam jumlah yang sudah ditentukan.
4. Mengerahkan dan menyerahkan tenaga kerja rodi.
5. Memelihara keamanan dan ketertiban daerah masing-masing.
6. Tidak boleh mengangkat atau memecat umbul (pegawai bawahan bupati) tanpa   pertimbangan Bupati Kompeni, atau penguasa Belanda di Cirebon.
7. Melakukan sensus penduduk tiap tahun dan melaporkannya ke Batavia.
8. Mengawasi kegiatan keagamaan, terutama kegiatan kiyai.
9. Pada waktu tertentu, para bupati wajib menghadap gubernur jenderal di Batavia sebagai    tanda kehormatan.

Sistim ekploitasi Kompeni berdasarkan penyerahan wajib hasil bumi yang
dijalankan di daerah Priangan disebut Preangerstelsel (Sistim Piangan).
Dalam sistim itu, kopi merupakan tanaman wajib utama. Penanaman kopi dalam jumlah
besar dimulai tahun 1707. Bupati yang pertamakali menyerahkan hasilnya kepada
Kompeni adalah Bupati Cianjur Radén Aria Wiratanudatar tahun 1711.
Agar para bupati mengawasi kegiatan keagamaan dengan baik, Kompeni
tidak menggangu pengaruh bupati dalam bidang tersebut. Kompeni membiarkan para bupati memperoleh penghasilan dari bidang keagamaan,14) antara lain dari zakat fitrah.
Tugas dan kewajiban bupati, khususnya yang menyangkut penyerahan hasil tanaman wajib, menunjukkan hubungan antara bupati dengan Kompeni. Namun dalam hubungan itu, terdapat perbedaan antara bupati di Priangan dengan bupati di Pantai Utara Pulau Jawa. Bupati di Priangan menerima piagam pengangkatan (aanstellingsacte), sedangkan bupati di Pantai Utara Pulau Jawa harus menandatangani surat perjanjian ikatan (acte van verband). Hal ini berarti kedudukan bupati Priangan secara yuridis berbeda dengan bupati di Pantai Utara Pulau Jawa.
Perbedaan kedua ikatan itu terletak pada sifat pemenuhan kewajiban.
Bupati di Priangan kewajiban utamanya adalah memungut verplichte leveranties,
yaitu hasil-hasil tanaman yang wajib diproduksi oleh rakyat dan diserahkan kepada Kompeni. Baik bupati maupun rakyat mendapat ganti rugi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni. Untuk penyerahan setiap pikul kopi misalnya, bupati meperoleh ganti rugi sebesar 5-6 ringgit (uang perak Belanda).
Kewajiban utama bupati di Pantai Utara Pulau Jawa adalah memungut contingenten, yakni
pemungutan hasil bumi tanpa mendapat ganti rugi sedikit pun dari Kompeni, karena pemungutan hasil bumi itu yang kemudian diserahkan kepada Kompeni dianggap sebagai pajak dalam bentuk natura.

Hal itu berarti, hubungan utama antara bupati di Priangan dengan Kompeni bersifat hubungan dagang, di mana bupati berperan sebagai perantara atau leveransir. Sebaliknya, hubungan antara Kompeni dengan bupati di Pantai Utara Pulau Jawa bersifat hubungan atasan dan bawahan.
Sebagai imbalan terhadap bupati, Kompeni membiarkan para bupati memiliki hak-hak istimewa yang diperoleh dari raja Mataram. Hak-hak dimaksud adalah memungut pajak berupa uang dan barang, memperoleh tenaga kerja; hak berburu dan menangkap ikan; hak mengadili, dan lain-lain.
Di Priangan, hak bupati yang disebut pertama dan kedua cukup banyak jenisnya, sesuai dengan perkembangan kehidupan waktu itu.

Pajak berupa uang :
1. Pajak jembatan
2. Pajak pasar dan warung
3. Pajak penjualan hewan ternak dan kuda
4. Pajak perikanan
5. Pajak penjualan sawah dan tanah darat
6. Pajak pemotongan hewan (kerbau dan sapi).
Pemotongan setiap ekor kerbau dikenakan pajak f 1 dan kepala, tanduk serta kulitnya harus diserahkan kepada bupati.

Pajak berupa barang
1. Cuké, yaitu 1/10 dari hasil panen padi. Pemasukan cukai ini, 2/3 bagian untuk bupati, sisanya diserahkan kepada pejabat-pejabat tingkat distrik (kewedanaan) ke bawah.
2. Pupundutan,17) yaitu permintaan akan keperluan rumah tanga, seperti beras, lauk-pauk, garam, sayur–mayur, gula, dan lain-lain, pada waktu tertentu, misalnya apabila di keluarga bupati berlangsung perayaan kelahiran, khitanan, perkawinan, dan sebagainya.
3. Pasedekah, yaitu pajak perayaan yang ditarik dari penduduk yang akan mengadakan perayaan khitanan atau perkawinan.
4. Pungutan lain-lain (bersifat insidental).

Perolehan tenaga kerja , terdiri atas :

1. Ngawula, yaitu pengabdian rakyat kepada bupati dan pejabat bawahannya.
2. Pancéndiensten (kerja wajib).

Rakyat wajib melakukan beberapa jenis pekerjaan untuk kepentingan pejabat pribumi, khususnya bupati. Misalnya, menyertai berburu dan menangkap ikan, mengurus kuda dan ternak, memelihara rumah, mengolah ladang, menyerahkan kayu bakar, menebang pohon dan menyerahkan bahan-bahan lain untuk perbaikan atau pembangunan rumah pejabat.
Hak-hak istimewa tersebut merupakan salah satu aspek yang menggambarkan besarnya kekuasaan bupati terhadap rakyat, disatu pihak. Di pihak lain, menunjukkan betapa beratnya beban yang harus dipikul oleh rakyat, baik dalam melaksanakan kewajiban untuk kepentingan Kompeni maupun untuk keperluan penguasa daerah, pemimpinnya sendiri. Akan tetapi, pemenuhan kewajiban rakyat kepada kedua penguasa itu sifatnya berbeda. Kewajiban rakyat kepada Kompeni bersifat paksaan. Sebaliknya, kewajiban rakyat kepada
pemimpin mereka, khususnya bupati, bersifat pengabdian, karena hubungan kedua belah pihak adalah hubungan “abdi-dalem”. Hubungan itu terjalin dalam ikatan feodal yang kuat.


Selama Kompeni tidak turut campur secara langsung dalam pemerintahan pribumi, para bupati dapat dikatakan sebagai pemegang kontrak atau administrator tanah perkebunan yang luas. Tiap tahun mereka mengirimkan sejumlah hasil tanaman wajib, terutama kopi, kepada Kompeni.
Setelah Kompeni bertindak lebih intensif, kedudukan dan kekuasaan bupati sebagai kepala daerah jadi menurun. Kompeni turut campur dalam pemerintahan kabupaten tanpa berunding lebih dahulu dengan bupati.
Pergantian bupati secara turun-temurun (hak mewariskan jabatan) yang semula diakui oleh
Kompeni, kini ditentukan oleh Kompeni sendiri. Pada setiap kabupaten ditempatkan pejabat Kompeni untuk mengawasi penanaman kopi yang semakin ditingkatkan.
Akan tetapi, dalam prakteknya ia memerintah kebupaten bersamasama bupati, sehingga kabupaten merupakan kantor Kompeni.
Sebagai akibat dari peningkatan jumlah penyerahan hasil tanaman wajib dan gaya hidup bupati yang royal, beberapa orang bupati terbelenggu oleh hutang kepada Kompeni.
Oleh karena itu Kompeni menganggap dirinya sebagai penguasa yang sah dan pemilik kabupaten, sedangkan para bupati dianggap sebagai bangsawan peminjam tanah. Dalam hal ini, Nederburgh menyindir, bahwa bupati di Priangan pada pertengahan abad ke-18 adalah penguasa asing di negeri sendiri.
Secara politis memang kedudukan formal bupati menurun. Akan tetapi, peranan bupati bagi Kompeni tetap penting. Bupati dengan kharisma pribadinya merupakan basis kekuatan untuk menggerakkan rakyat, sedangkan Kompeni tidak memiliki pengaruh terhadap rakyat, karena ruang lingkup kekuasaannya hanya sampai pada bupati. Dalam pada itu, rakyat – karena ikatan feodal – hanya taat pada perintah bupati.
Dengan demikian, sindiran Nederburgh tersebut tidak memiliki dasar yang kuat. Keberhasilan Preangerstelsel pada dasarnya bertumpu pada kedudukan dan peranan bupati. Dalam pelaksanaan eksploitasi itu, bupati menjadi perantara Kompeni dengan rakyat, sekaligus berperan sebagai penggerak rakyat untuk melaksanakan kewajibannya. Posisi dan peranan bupati demikian itu terus berlangsung, setidaknya sampai akhir abad ke-19.

Zaman Pemerintahan Hindia Belanda

Akhir abad ke-18 (Desember 1799) usaha dagang Kompeni mengalami kehancuran, sehingga lembaga dagangnya (VOC) bubar.
Kekuasaan atas Nusantara diambilalih oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, kemudian dibentuk pemerintahan Hindia Belanda dipimpin oleh Gubernur Jenderal H.W. Daendels
(1808-1811). Dalam menjalankan pemerintahannya, Daendels melakukan tindakan keras, baik di bidang administrasi maupun di bidang politik.
Di bawah pemerintahan Daendels, kedudukan bupati mengalami perubahan. Daendels memodifikasi kedudukan bupati Priangan, dari penguasa daerah yang berdaulat penuh menjadi aparat pemerintah kolonial. Hal ini terlihat jelas dari tindakannya. Piagam pengangkatan para bupati Priangan dari Kompeni dinyatakan tidak berlaku lagi. Selanjutnya bupati diangkat oleh gubernur jenderal
sebagai pegawai pemerintah dan menerima gaji. Para bupati di Priangan diperintahkan, bahwa sejak itu mereka harus menggunakan stempel negara dalam surat–surat resmi yang dibuatnya.
Sikap dan tindakan Daendels itu berarti, bahwa bupati berada di bawah perintah dan bekerja untuk tujuan atau kepentingan pemerintah kolonial sematamata.
Daendels membatasi kekuasaan bupati serta menempatkannya di bawah pengawasan langsung prefect, pejabat setingkat dengan residen.
Dalam hal pergantian bupati, Daendels tidak mengakui prinsip pergantian secara turun temurun. Pergantian pejabat itu dilakukan atas dasar penunjukan. Tindakantindakan itu dilakukan oleh Daendels, karena ia ingin melaksanakan sistim pemerintahan langsung, memerintah rakyat tanpa perantaraan bupati.
Untuk kepentingan jalannya pemerintahan, Daendels membangun jalan dari Anyer di ujung Barat Jawa Barat sampai Panarukan di ujung Timur Jawa Timur. Jalan itu disebut Grote Postweg (Jalan Raya Pos), karena tujuan utama pembangunannya adalah untuk komunikasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah melalui surat.
Keberhasilan proyek besar Daendels itu tidak dapat dipisahkan dari peranan bupati, karena tanggung jawab pelaksanaan pembangunan Grote Postweg diserahkan kepada para bupati, khususnya bupati di daerah yang dilewati oleh jalan tersebut. Di daerah Priangan, jalan itu melewati bagian tengah Kabupatenkabupaten Cianjur, Bandung, dan Sumedang.
Para bupati mampu melaksanakan tugas tersebut, bukan karena status mereka sebagai aparat pemerintah kolonial, tetapi karena kedudukan mereka selaku kepala daerah dan pemimpin tradisional. Dalam kedudukan itu, bupati kuasa memerintah atau menggerakkan rakyat untuk berbagai kepentingan, termasuk membangun Grote Postweg. Tanpa bantuan bupati, pembangunan jalan tersebut akan mengalami kegagalan. Hal itu dapat terjadi karena hubungan bupati dengan rakyat tetap terjalin dalam ikatan feodal yang kuat, sehingga rakyat hanya taat pada perintah bupati.
Daendels memahami pentingnya peranan bupati bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah kolonial. Oleh karena itu, ia membiarkan bupati memiliki hak memungut pajak berupa uang, tenaga kerja, dan hasil bumi.
Kebijakan Daendels itu juga didasarkan pada beberapa pertimbangan.
Pertama, untuk penghematan biaya pemerintah.
Kedua, bupati wajib membayar (memberi gaji) kepala-kepala bawahannya.
Ketiga, agar bupati selaku aparat pemerintah kolonial melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik, termasuk pelaksanaan penanam tanaman wajib, karena Preangerstelsel dipertahankan.
Sebagai pegawai pemerintah, bupati harus tunduk pada perintah dan patuh pada kebijakan atasan. Hal itu ditunjukan oleh pelaksanaan sanksi administratif dan mutasi jabatan. Misalnya, Bupati Parakanmuncang Radén Tumenggung Aria Wira Tanureja, dipecat dari jabatannya karena tidak melaksanakan perintah untuk menanam 300.000 pohon kopi di daerahnya. Sebagai penggantinya, Kepala Cutak Pamanukan Radén Aria Adiwijaya diangkat menjadi Bupati Parakanmuncang (Besluit 14 Januari 1809).
Perintah penanaman kopi dalam jumlah besar, menunjukkan bahwa Daendels sangat berambisi untuk melipatgandakan keuntungan dari produksi kopi Priangan.
Dalam perjalanan dari Batavia ke Semarang, ia mengetahui bahwa Priangan adalah daerah produsen kopi. Ia memperkirakan daerah itu dapat menghasilkan lebih-kurang 10.000 pikul kopi per tahun.
Sejalan dengan hal tersebut, Daendels membagi Priangan ke dalam dua unit daerah, yaitu unit daerah produsen kopi dan unit daerah bukan produsen utama kopi.
Kabupaten-kabupaten Cainjur, Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang termasuk ke dalam unit pertama. Keempat kabupaten itu menjadi bagian dari wilayah Jaccatrasche en Preangerbovelanden (Daerah Pedalaman Jakarta dan Priangan).
Kabupaten Limbangan, Sukapura, dan Galuh yang termasuk ke dalam unit kedua, digabungkan dengan wilayah Cirebon dan disebut Cheribonsche Preangerlanden.

Pembagian daerah itu terjadi antara tahun 1808 –1809. Beberapa waktu kemudian, Kabupaten Limbangan dan Sukapura dikeluarkan dari wilayah administratif Cirebon.
Reorganisasi yang dilakukan oleh Daendels, pada satu segi menunjukkan pentingnya peran bupati dalam pelaksanaan eksploitasi ekonomi kolonial. Pada segi lain, reorganisasi itu membawa akibat besar bagi kedudukan bupati. Di daerah produsen utama kopi, posisi bupati bertambah kuat, karena keberhasilan produksi tanaman itu sangat tergantung pada peran bupati. Sebaliknya, di daerah minus kopi, bupati dapat kehilangan kedudukannya. Misalnya, Bupati Sukapura Radén Demang Anggadipa alias Radén Tumenggung Wiradadaha VIII (1807-1811) dipecat dari jabatannya, karena ia tidak melaksanakan perintah penanaman nila di sawah sebagai pengganti kopi. Bupati Sukapura menolak perintah tersebut, karena jika sawah ditanami nila, para petani akan kehilangan penghasilan padi dan palawija.
Akibat sikap Bupati Sukapura tersebut, Kabupaten Sukapura kemudian dihapuskan. Daerahnya digabungkan ke dalam wilayah Kabupaten Limbangan yang diperintah oleh Bupati Radén Tumenggung Wangsareja (1805-1813).
Sebagian daerah Limbangan, termasuk daerah bekas Kabupaten Sukapura, dibagi-bagi
kemudian digabungkan ke dalam wilayah Kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang (Besluit tanggal 2 Maret 1811).
Penggabungan daerah itu dimaksudkan untuk kepentingan produksi kopi  khususnya dan
eksploitasi ekonomi pada umumnya.
Bupati lain yang menunjukkan sikap menentang terhadap tindakan pemerintah kolonial adalah Bupati Parakanmuncang Radén Tumenggung Aria Wira Tanureja dan Bupati Sumedang Radén Adipati Surianegara. Sikap mereka menunjukkan bahwa bupati di Priangan bukan alat pemerintah kolonial sematamata.
Mereka berusaha untuk dapat hidup merdeka, lepas dari kekuasaan asing.
Sikap para bupati juga terlihat dalam usaha mereka untuk mempertahankan
kedudukan mereka, paling tidak kedudukan sebagai pemimpin tradisional.
Para bupati memahami, bahwa rakyat pribumi waktu itu masih buta politik dan tidak mengetahui seluk-beluk struktur dan hirarki pemerintahan. Oleh karena itu, para bupati berupaya agar dalam pandangan rakyat, mereka adalah bupati, kepala daerah, pemimpin rakyat. Bupati yang berpandangan demikian, bersikap dan bertindak bijaksana. Di samping menjalankan tugas dari pemerintah kolonial, ia/mereka juga menjalankan fungsi sebagai pemimpin yang wajib melindungi dan memperhatikan kesejahteraan hidup rakyat.
Bupati di Priangan yang bersikap demikian antara lain Bupati Bandung Radén Adipati Wiranatakusumah II (1794 – 1829). Ia adalah perintis pembangunan kota Bandung. Secara bijaksana ia membebaskan rakyat Balubur Hilir dari kewajiban membayar pajak, sebagai imbalan atas jasa mereka turut aktif dalam mendirikan kota Bandung.
Bupati yang bersikap demikian kiranya menyadari, bahwa “inti kepemimpinan bukan pertama-tama terletak pada kedudukan.
Inti kepemimpinan adalah fungsi atau tugas”. Memang, kedudukan dan kekuasaan bupati tidak ada artinya apabila tidak diakui oleh rakyat.

Sikap bupati seperti itu tentu mendapat tanggapan baik dari rakyat, karena kehidupan mereka banyak tergantung pada kebijakan bupati. Hal itu menunjukkan kuatnya ikatan tradisional antara kedua belah pihak.
Faktor inilah yang menyebabkan bupati menduduki posisi dan peranan penting dalam pelaksanaan eksploitasi kolonial di Pulau Jawa.
Peranan bupati pada masa itu, bukan hanya dalam bidang ekonomi. Dalam kerangka politik militer pun, bupati turut ambil bagian, sehingga gelar kepangkatan bupati diidentikan dengan pangkat militer.
Gelar tumenggung disamakan dengan mayor, gelar adipati dan aria disamakan dengan letnan kolonel, dan gelar pangérandisamakan dengan kolonel.
Oleh karena itu, masyarakat Sumedang khususnya dan masyarakat Priangan umumnya memberi julukan “Pangéran Kornél” kepada Bupati Sumedang, Pangéran Adipati Kusumanegara alias Pangéran Kusumadinata (1791-1828).
Pemberian pangkat militer kepada para bupati dengan maksud agar mereka lebih taat pada perintah atasan, justru memperbesar wibawa dan pengaruh para bupati di kalangan masyarakat pribumi. Dengan kata lain, kebijakan tersebut memperkuat feodalisme di kalangan bupati. Oleh karena itu, merosotnya kedudukan bupati hanya dalam pandangan pemerintah kolonial atau hanya bersifat politis. Dalam kenyataannya, bupati tetap berkedudukan sebagai kepala daerah dan pemimpin tradisional. Kedudukan bupati, lebih-lebih sebagai pemimpin tradisional, tidak mungkin dapat diambilalih oleh pejabat kolonial,
Kepemimpinan tradisional yang dimiliki bupati berakar pada kelahiran dan status sosial.
Kedudukan bupati yang berhubungan erat dengan ikatan feodal antara bupati dengan rakyat, merupakan faktor utama yang menyebabkan Daendels gagal melaksanakan sistim pemerintahan langsung. Namun demikian, kebijakankebijakan Daendels pada dasarnya dilanjutkan oleh para gubernur jenderal penggantinya.
Akibat tindakannya yang sewenang-wenang, Daendels digantikan oleh Gubernur Jenderal Jan Willem Jansens (Mei 1811). Akan tetapi, ia hanya berkuasa di Nusantara, khususnya Pulau Jawa, lebih-kurang empat bulan. Hal itu terjadi akibat armada Inggris menyerbu Pulau Jawa (Agustus 1811). Jansens tidak mampu mengatasi serbuan itu. Ia menyerah kepada pihak Inggris di Salatiga (17 September 1811) melalui Kapitulasi Tuntang.

Pemerintah Inggris menempatkan T.S. Raffles sebagai penguasa di Hindia Belanda, khususnya Pulau Jawa, dengan pangkat Letnan Gubernur Jenderal (1811-1816).
Dalam menjalankan pemerintahan, pada dasarnya Raffles mengikuti kebijakan-kebijakan Daendels. Sama halnya dengan Daendels, Raffles pun tidak mengakui prinsip pergantian bupati secara turun-temurun. Ia berusaha untuk menghilangkan kekuasaan dan pengaruh bupati terhadap rakyat, karena ia mengetahui ikatan feodal antara bupati dengan rakyat sangat kuat.
Dalam peraturan yang dikeluarkannya (Peraturan, 22 Maret 1815, artikel 1), Raffles
antara lain menyatakan “The inhabitants of the Batavian and Preangers
Regencies, is not having yet released from feudal services to their chiefs .....”.
Agar kekuasaan dan pengaruh bupati terhadap rakyat berkurang, Raffles melakukan berbagai tindakan. Sejalan dengan penolakan sistim pergantian bupati secara turun-temurun, bupati ditempatkan sebagai pegawai umum pemerintah yang berada di bawah pengawasan langsung residen dan didampingi oleh asisten residen. Hak bupati untuk mengadili, dicabut. Tugas itu diserahkan kepada residen. Akan tetapi hak bupati untuk memungut pajak, tidak diganggu.
Bahwa pada masa pemerintahan Raffles para bupati di Priangan dijadikan pegawai biasa, terbukti dari sanksi administratif yang diberikan kepada bupati. Bupati yang dianggap tidak cakap menjalankan tugas, dipensiunkan.
Misalnya, Radén Tumenggung Wangsareja dipensiunkan dari jabatannya sebagai Bupati Limbangan. Sebagai gantinya, Bupati Parakanmuncang dipindahkan ke Limbangan, karena Kabupaten Parakanmuncang dihapuskan.
Sebagai pengganti hak mengadili yang dicabut, sejak tahun 1813 bupati mendapat tugas sebagai pengawas urusan kepolisian.

Tindakan Raffles itu bersifat kontradiksi dengan upaya menghapus pengaruh bupati atas rakyat, karena anggota polisi adalah penduduk pribumi dan polisi menangani kasus yang
menyangkut rakyat. Oleh karena itu, tugas bupati tersebut justru memperbesar pengaruh bupati di kalangan masyarakyat pribumi.

Raffles tidak kuasa menghapus pengaruh bupati atas rakyat, berarti ia gagal melaksanakan sistim pemerintahan langsung. Para bupati di Priangan tetap memiliki kekuasaan dan pengaruh besar atas rakyat masing-masing. Hal itu antara lain ditunjukan pada waktu terjadi pemberontakan Bagus Rangin (1812). Pemerintah kolonial mengalami kesulitan untuk mengatasinya. Oleh karena itu, Raffles terpaksa meminta bantuan beberapa orang bupati, yaitu bupati Sumedang, Cianjur, dan Karawang. Dengan kekuasaan dan pengaruhnya, mereka menggerakkan dan memimpin rakyat masing-masing menumpas pemberontakan tersebut.
Kepemimpinan bupati dalam menjalankan tugas seperti itu, dan usaha mereka dalam melaksanakan fungsi kepemimpinan tradisionalnya, menyebabkan wibawa dan kharisma bupati di kalangan masyarakat bertambah besar. Sampai akhir masa kekuasaannya, Raffles gagal melaksanakan sistim pemerintahan langsung.
Kegagalan itu disebabkan oleh dua faktor.
Pertama, Raffles tidak mampu menghapus ikatan feodal antara bupati dengan rakyat.
Kedua, masa kekuasaan Raffles di Pulau Jawa berlangsung dalam waktu pendek
(1811-1816). Sesuai dengan ketentuan Traktat London (13 Agustus 1814), tahun 1816 pemerintah Inggris menyerahkan kekuasaan atas Pulau Jawa kepada pemerintah Kerajaan Belanda.
Pemerintahan di Hindia Belanda, khususnya di Pulau Jawa, dilaksanakan oleh Komisaris Jenderal terdiri atas C.Th. Elout, G.A.G. Ph. Baron van der Capellen, dan A.A. du Bus (Buykes) Gisignies.
Mereka segera menambah jumlah personil pemerintah Hindia Belanda. Komisaris Jenderal juga mengukuhkan jabatan residen.
Sementara itu, fungsi bupati dibatasi oleh peraturan-peraturan legal. Dengan demikian, posisi bupati dalam pemerintahan makin terdesak.Dibandingkan dengan zaman Kompeni, kekuasaan dan pengaruh bupati waktu itu sudah jauh berkurang Hal itu mengakibatkan ketidakpuasan para bupati bertambah besar.
Setelah Van der Capellen menjadi gubernur jenderal (Besluit 16 Januari 1819), ia mengadakan perjalanan keliling Pulau Jawa (1819). Dalam perjalanan itu ia mengetahui ketidak puasan bupati terhadap kebijakan pemerintah kolonial. Ia pun menyadari bahwa pengaruh tradisional bupati terhadap rakyat sangat besar, sedangkan pejabat-pejabat Belanda tidak mungkin menggantikan kedudukan sosial bupati. Berdasarkan pemikiran itu, Van der Capellen dengan besluit tanggal 1 Februari 1820 mengangkat kembali bupati di Priangan khususnya dan bupati di Pulau Jawa umumnya, dari bupati dengan status pegawai biasa menjadi bupati sebagai kepala daerah.
Sejalan dengan tindakan itu, Van de Capellen menulis surat kepada Manteri Jajahan (9 Mei 1820). Dalam surat itu dijelaskan bahwa mengurangi hak dan kekuasaan penguasa pribumi, pemimpin tradisional, adalah tindakan yang kurang bjaksana. Dalam hubungan ini, Dr. Heyting menyatakan, hanya dengan menggunakan para bupati dalam sistim pemerintahan Hindia Belanda, maka Belanda dapat mencapai keuntungan.
Masalahnya, administrator Belanda itu orang asing, maka kecurigaan dan ketidakpercayaan penduduk akan selalu timbul.
Van der Capellen yang menyadari akan hal tersebut, berusaha untuk menarik simpati rakyat melalui para bupati.
Kebijakan itu dituangkan dalam Keputusan Pemerintah tahun 1820 (Staatsblad 1820 No. 22) yang menetapkan, bahwa bupati harus dihormati sebagai orang pertama di kabupaten. Kedudukannya di bawah asisten residen sebagai penasehatnya.
Dalam lingkungan pemerintahan, bupati adalah “saudara muda” asisten, tetapi ia pun wajib memberi nasehat kepada “saudara tua”–nya mengenai kebijakan-kebijakan yang perlu
diambil.
Walaupun bupati diawasi secara langsung oleh asisten residen, tetapi instruksi kepada bupati datang dari residen.
Dalam keputusan pemerintah itu ditegaskan pula agar atribut–atribut bupati dan para pejabat bawahannya harus selalu terlihat oleh rakyat, bahwa mereka adalah pemimpin tradisional turun temurun. Tempat bupati dalam pertemuan dan perayaan, gelar, payung kebesaran, dan kebiasaan, ditentukan sesuai dengan kedudukan bupati dalam hirarki pemerintahan Hindia Belanda.
Di balik semua penghormatan itu terkandung motivasi yang dalam, yaitu dimaksudkan untuk menjadikan bupati sebagai mandor besar dalam pelaksanaan Preangerstelsel yang terus dipertahankan. Pemerintah kolonial percaya, bahwa bila pemimpin tradidional (khususnya bupati ) banyak kehilangan kebesaran dan fungsi seremonialnya, maka penghormatan dan kepatuhan atau kesetiaan rakyat terhadapnya akan menjadi kurang, dan itu berbahaya.
Motivasi pemerintah kolonial itu antara lain terlihat pada instruksi kepada para bupati. Mereka harus mengawasi urusan-urusan pertanian, peternakan. keamanan, irigasi, pemeliharaan jalan, pengumpulan pajak, mengamati sikap dan kegiatan para kiyai serta perkembangan agama Islam, dan lain-lain.Sebaliknya, hak-hak, kekuasaan, dan tanggung jawab bupati tidak dirumuskan dengan jelas.
Pandangan Van der Capellen tentang bupati sejalan dengan gagasan Van den Bosch yang ingin menjalankan politik eksploitasi Kompeni dulu, dengan mendapat dukungan kepala-kepala pribumi. Pemerintah Belanda yang waktu itusedang mengalami kesulitan di bidang keuangan, menyambut baik gagasan Van den Bosch dan mengangkatnya sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda (1830 –1833), menggantikan Van der Capellen.
Tugas utama Van den Bosch ialah meningkatkan produksi tanaman eksport yang tidak terjadi selama sistim pajak tanah berlangsung di Pulau Jawa – dengan target memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya.
Kegagalan sistim pajak tanah telah meyakinkan Van den Bosch, bahwa untuk memperoleh keuntungan besar dari hasil tanaman eksport, maka penyerahan hasil tanaman wajib seperti dalam Preangerstelsel harus dijalankan diseluruh Pulau Jawa. Pelaksanaan gagasan Van den Bosch ini dikenal dengan sebutan Kultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa).
Sistim ini diharapkan dapat meningkatkan hasil tanaman eksport di seluruh Pulau Jawa sampai pada tingkat yang dicapai di daerah Priangan, yaitu setiap cacah rata-rata menghasilkan f 5 untuk pemerintah.
Untuk mencapai tujuan itu, ikatan feodal–tradisional antara kepala-kepala pribumi dengan rakyat harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, agar tidak terjadi kegagalan seperti sistim pajak tanah. Ini berarti Pemerintah Hindia Belanda harus mendekati bupati dengan menunjukkan sikap dan perlakuan yang dapat menghapus ketidakpuasan mereka atas tindakan pemerintah sebelumnya.
Politik yang akan dijalankan oleh pemerintah itu ditentang oleh sebagian pejabat Belanda (Binnenlandsch Bestuur), terutama para residen.
Mereka menghendaki agar jabatan bupati dihapuskan. Mereka menganggap bupati mengganggu jalannya pemerintahan yang efisien, dan pemeras rakyat. Bupati bagaikan “gigi yang tak berguna bagi roda pemerintahan”.Sikap para pejabat Belanda itu menunjukkan ambisi mereka untuk menjalankan sistim pemerintahan langsung.
Namun demikian, pemerintah (Departement Binnenlands Bestuur/Departemen Dalam Negeri) di Batavia tetap pada pendiriannya. Pemerintah akan merangkul kembali bupati, bahkan mengikatnya secara lebih erat lagi ke dalam jaringan politik eksploitasi kolonial atas dasar beberapa pertimbangan.
Pertama, pemerintah Hindia Belanda akan menggunakan sistim eksploitasi tradisional yang
sudah biasa dilakukan oleh para bupati secara lebih ketat, untuk mendapat keuntungan dari hasil bumi sebanyak mungkin.
Kedua, pemerintah melihat bahwa rakyat akan lebih taat kepada bupati daripada bila diperintah langsung oleh pejabat-pejabat orang Belanda. Hal itu dimaksudkan pula agar pelawanan rakyat seperti yang pernah terjadi dalam Perang Diponegoro (1825 – 1830) tidak terulang kembali.
Ketiga, untuk menghemat anggaran belanja negara. Keadaan keuangan dan personalia administrasi pemerintah Hindia Belanda tidak memungkinkan untuk mengurus seluruh wilayah jajahan, tanpa bantuan bupati dan kepala-kepala pribumi lainnya.
Untuk menjamin kesetiaan dan loyalitas para bupati kepada pemerintah, Van den Bosch mengembalikan kedudukan bupati seperti pada awal kekuasaan Kompeni. Hal ini berarti prestise bupati naik lagi. Mereka kembali berkuasa secara semi otonom.
Sebagai realisasi dari sikap pemerintah tersebut, pemerintah pusat di Batavia mengeluarkan surat-surat edaran berisi nasihat kepada para residen agar bersikap sopan dan hormat kepada para bupati, dan mengikutsertakannya secara sungguh-sungguh dalam kegiatan pemerintahan. Pejabat yang tidak mematuhi seruan itu akan dipindahkan.
Kebijakan tersebut berarti sistim pemerintahan tak langsung bersifat ganda (dual system), yaitu adanya korps Pangrehpraja Belanda (Binnenlands Bestuur) yang didampingi oleh Pangrehpraja Pribumi, yaitu para penguasa lokal di bawah pimpinan bupati.
Dengan kata lain, kebijakan itu menjadikan bupati sebagai pejabat resmi pemerintah, tetapi bukan pegawai biasa, melainkan bupati sebagai kepala daerah, pemimpin rakyat.
Para bupati menerima kembali hak untuk mewariskan jabatan.
Hak tersebut pada dasarnya tak pernah lepas dari bupati. Walaupun pemerintah kolonial sebelumnya tidak mengakui hak itu, dan pergantian bupati ditunjuk atau diangkat oleh pemerintah, tetapi karena bupati telah membuat jaringan berupa perkawinan antar keluarga (perkawinan politik), maka jabatan bupati tetap jatuh kepada keturunan bupati.
Politik Van den Bosch ternyata berhasil. Para bupati giat menggerakkan rakyat untuk meningkatkan produksi tanaman yang diperlukan pemerintah. Misalnya, Bupati Bandung Radén Adipati Wiranatakusumah IV (1846–1874) sangat berhasil dalam meningkatkan produksi kopi. Dari keberhasilannya itu ia mendapat persentase tidak kurang dari f 800.00 per tahun, sehingga pada masa itu ia adalah bupati terkaya di Priangan. Sewaktu meninggal, kekayaannya bernilai lebih-kurang empat milyungulden, termasuk uang sejumlah f 560.000. Bupatibupati Priangan lainnya yang juga berhasil meningkatkan produiksi tanaman wajib dan mendapat penghasilan cukup besar adalah bupati Sumedang, Cainjur,dan Sukapura.
Dalam menjalankan kewajibannya, para bupati tersebut cukup bijaksana. Bupati Bandung dan Bupati Sukapura misalnya, berhasil pula memajukan pertanian rakyat dan menaruh perhatian besar terhadap kehidupan rakyat umumnya.
Keberhasilan para bupati itu diketahui oleh Gubernur Jenderal J.C. Baud (1833-1836), pengganti Gubernur Jenderal J. Van den Bosch.
Ia pun mengakui, bahwa rakyat sepenuhnya berada di bawah kekuasaan bupati. Pengakuan itu bahkan dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah (Regeeringsreglement/RR) tahun 1836. Sejalan dengan pengakuan itu, Gubernur Jenderal Baud mengukuhkan hak bupati untuk mewariskan jabatan.
Hal yang disebut terakhir mengandung arti, pemerintah kolonial menempatkan kembali bupati pada kedudukan sebagai kepala daerah.
Bupati yang dianggap “saudara muda” asisten residen, sejak pertengahan abad ke-19, kedudukannya dalam struktur pemerintahan kolonial, sejajar dengan asisten residen Namun demikian, tidak berarti bupati memiliki wewenang untuk memerintah pejabat bawahan asisten residen, yaitu kontrolir.
Tak dapat dipungkiri bahwa di antara bupati di Priangan waktu itu, ada juga bupati yang mabuk kekuasaan. Ia bertindak tegas tanpa kebijaksanaan.
Terdorong ingin menunjukkan loyalitas tinggi mungkin ingin mendapatkan imbalan jasa besar ia bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya yang menderita.
Hal itu tercermin dari surat perintah bupati Limbangan (Garut) tertanggal 7 Januari 1848. Melalui surat itu, bupati Limbangan memerintahkan para kepala cutak (wedana) untuk memeriksa sawah-sawah desa dan menghukum rakyat yang membangkang.
Dalam surat perintah itu antara dinyatakan :

“..... Seoempama ana sawah kang doeroeng dén samboet, ikoe wang doewé sawah koedoe dén pentrang belok ing galangan sawahé sedino.....”  
(“..... Kalau ada orang yang belum mengerjakan sawahnya, maka pemiliknya harus diikat kaki dan tangannya di antara dua papan kayu selama satu hari di sawahnya.....”).

Apabila dianalisa lebih jauh, mungkin faktor penyebab bupati bertindak
sewenang-wenang itu bukan hanya motivasi ingin menunjukkan loyalitas tinggi
terhadap pemerintah kolonial, tetapi karena banyak faktor. Tindakan bupati itu
mungkin pula merupakan kompensasi dari perasaannya yang tertekan oleh
pejabat-pejabat kolonial. Seperti telah disebutkan, para residen menghendaki agar
jabatan bupati dihilangkan dan mereka memperlakukan bupati dengan pandangan hina.
Hal ini sudah tentu menyakitkan hati bupati, tetapi mereka tidak kuasa membalasnya.
Terlepas dari motivasi apapun, tindakan itu menyebabkan berkurangnya wibawa bupati yang bersangkutan di mata masyarakat, bahkan menimbulkan kebencian rakyat kepadanya. Sementara itu, terjadi pula pemerasan uang yang dilakukan oleh pejabat pribumi terhadap rakyat melalui tradisi penyerahan wajib.
Akibat tindakan-tindakan seperti itulah maka timbul pemberontakan rakyat, seperti yang terjadi di Cilegon (Banten) pada tahun 1888.
Sementara itu di negeri Belanda bangkit gerakan liberalisme dengan ideide humaniter yang menentang Kultuurstelsel. Akibatnya, sejak tahun 1860 pelaksanaan sistem itu bersangusr-angsur dihapuskan (lada tahun 1860, tebu tahun 1861, merica tahun 1862, pala dan cengkeh tahun 1863, nila, teh dan tembakau tahun 1865/1866). Akan tetapi penanaman wajib kopi di Priangan tetap dipertahankan sampai tahun 1917.
Opisisi kaum borjuis liberal terhadap Kultuurstelsel semakin santer dengan terbitnya tulisan Multatuli berjudul Max Havelar dan tulisan Frans van de Putte, berjudul Suiker Contracten. Tulisan itu membeberkan penderitaan rakyat serta penyalahagunaan kekuasaan di bawah sistim tersebut.mAkibat santernya gerakan golongan liberal, akhirnya Kultuurstelsel dihapuskan (1870).
Lebih-kurang setahun kemudian (1 Januari 1871) Preangerstelsel, kecuali penanaman kopi, juga berakhir.
Di daerah Priangan lahir peraturan baru melalui Preanger Reorganisatie (Reorganisasi Priangan) tahun 1871.
Salah satu realisasi dari reorganisasi itu, wilayah Priangan dibagi ke dalam sembilan afdeling. Pada umumnya afdelingdiperintah oleh assiten residen. Akan tetapi, ada pula afdeling yang diperintah oleh patih afdeling (zelfstandige-patih).

Kesembilan afdeling dimaksud adalah :

1. Afdeling/Kabupaten Bandung, ibukota Bandung,
bupati Radén AdipatiWiranatakusumah IV, patih Radén Rangga Kusumadilaga.
2. Afdeling Cicalengka, ibukota Cicalengka dengan patih Radén Demang
Wiradikusuma.
3. Afdeling/Kabupaten Cianjur, ibukota Cianjur,
bupati Radén Tumenggung Prawiradirja, patih Radén Aria Wiradireja.
4. Afdeling/Kabupaten Sumedang, ibukota Sumedang,
bupati Pangéran Suria Kusumadinata, patih Radén Demang Sacadipraja.
5. Afdeling/Kabupaten Limbangan, ibukota Garut,
bupati Radén Adipati Surianatakusuma, patih Radén Rangga Anggaadiwijaya.
6. Afdeling/Kabupaten Sukapura, ibukota Manonjaya,
bupati Radén Tumenggung Wiratanubaya IV, patih, Radén Rangga Danukusuma.
7. Afdeling Sukapura Kolot, ibukota Mangunreja dengan patih Radén Prawirakusuma.
8. Afdeling Tasikmalaya, ibukota Tasikmalaya dengan patih, Radén Rangga Somanagara.
9. Afdeling Sukabumi, ibukota Sukabumi dengan patih Radén Rangga Wangsareja.
Terjadinya reorganisasi di Priangan mengakibatkan kekuasaan para bupati dalam pemerintahan merosot. Wilayah kekuasaannya pun berkurang, karena dalam kenyataanya patih afdeling berkuasa penuh di daerahnya, dan kekuasaan memerintah beralih ketangan residen. Bupati tidak memiliki tugas-tugas pemerintahan yang berarti. Mereka dipojokkan ke dalam status figur semata yang tidak mempunyai kekuatan di dalam sistim administrasi pemerintahan Hindia Belanda.
Sejalan dengan kondisi tersebut – berdasarkan Peraturan Pemerintah tanggal 10 Septemeber 1870 yang diberlakukan mulai 1 Januari 1871, hak bupati untuk menarik pajak dalam bentuk uang, hasil bumi, tenaga kerja, dan kerja wajib dari rakyat dihapuskan.
Akan tetapi, khusus di Priangan, hak bupati memperpoleh tenaga kerja wajib (ngawula), terus berlangsung. Bupati di Priangan setiap hari memiliki tenaga kerja wajib sebanyak  orang. Hal yang disebut terakhir merupakan salah satu faktor yang membedakan posisi bupati di Priangan dengan bupati di daerah lain.Sebagai ganti atas hak-hak bupati yang dicabut, para bupati kembali menerima surat pengangkatan sebagai pegawai pemerintah dari gubernur jenderal (Besluit tanggal 5 Mei dan 20 Juni 1871). Berdasarkan besluit itu para bupati Priangan menerima gaji cukup tinggi dengan tunjangan cukup besar, ditambah
pula oleh pendapatan dari persentase setiap kali menyerahan hasil panen kopi.
Waktu itu, jumlah uang gaji dan tunjangan bupati di Priangan tiap tahun adalah sebagai berikut.
Penerima Gaji Tunjangan Jumlah
Bupati Cianjur f 20.000 F 24.000 f 44.000
Bupati Bandung f 20.000 F 100.000 f 120.000
Bupati Sumedang f 20.000 F 24.000 f 44.000
Bupati Limbangan f 20.000 - f 20.000
Bupati Sukapura f 20.000 - f 20.000
Dalam realisasinya, bupati menerima gaji tiap bulan. Setiap kali menyerahan kopi menyerahan kopi, bupati mendapat persen sebesar f 1 per pikul (± 62 kilogram), dengan ketentuan tidak lebih dari f 30.000 untuk bupati Cianjur, f 82.000 untuk bupati Bandung,
f 30.000 untuk bupati Sumedang, f 10.000 untuk bupati Limbangan, dan f 6.00 untuk bupati Sukapura.76) Pendapatan para bupati itu ditambah lagi dengan hasil sawah-lungguh (kalungguhan) atau sawah carik, yang luasnya ratusan bahkan ribuan bau.
Pendapatan para bupati di Priangan cukup menyolok bila dibandingkan dengan pendapatan bupati-bupati di daerah lain. Bupati Semarang dan Surabaya misalnya, masing-masing hanya menerima gaji f 14.000 dan tunjangan f 2.400 per tahun.
Data tentang penghasilan bupati di Priangan, menunjukkan bahwa para bupati di Priangan walaupun kedudukan mereka dipojokkan menjadi pegawai yang tidak memiliki kekuatan dalam sistim administrasi pemerintah tetap memiliki fungsi dan peran penting sebagai pengatur produksi agraria dalam eksploitasi kolonial. Hal ini merupakan faktor lain yang menyebabkan posisi bupati di Priangan berbeda dengan bupati di luar daerah Priangan.
Walaupun para bupati di Priangan umumnya memiliki tanggungan keluarga dalam jumlah besar, tetapi karena penghasilan tinggi dan kaya akan harta benda, mereka dapat hidup berkecukupan. Pemilikan kekayaan, simbol-simbol status dan kebesaran, serta kharisma pribadi, merupakan faktor-faktor pendorong bagi bupati dalam usaha mempertahankan prestise dan wibawanya, bila mungkin meningkatkannya. Keberadaan faktor-faktor itu berarti kekuasaan atau paling tidak pengaruh bupati terhadap rakyat, tetap ada.
Pengaruh, walaupun merupakan bentuk lunak daripada kekuasaan dan sering kurang efektip daripada kekuasaan, tetapi mengandung unsur psikologis dan menyentuh hati, sehingga seringkali cukup membawa hasil.80) Rupanya hal itu disadari oleh para bupati di Priangan waktu itu. Dengan pengaruh yang masih ada pada dirinya, para bupati berusaha untuk menjalankan fungsi kepemimpinan tradisionalnya. Di samping mengatur penanaman kopi untuk kepentingan pemerinah, mereka pun berusaha memperhatikan aspek-aspek kehidupan sosial, baik bidang ekonomi dan pembangunan daerah maupun bidang kebudayaan, dan lain-lain. Usaha-usaha para bupati itu tidak bertentangan dengan instruksi
pemerintah kepada meraka.81) Oleh karena itu pemerintah tidak ragu-ragu memberikan tanda jasa dan kehormatan kepada para bupati. Bupati Galuh (Ciamis), Radén Adipati Aria Kusumadiningrat atau Kanjeng Prebu (1839-1886) memperoleh payung kebesaran, Songsong Kuning (Besluit Tahun 1874 No.1 ) dan bintang Ridder in de Orde van den Nederlanschen Leeuw (Besluit18 Februari 1878 No. 7) atas jasanya mendirikan tiga buah pabrik penggilingan kopi, membuat jalan antara Panjalu Kawali, membangun beberapa irigasi, membuka sawah beribu-ribu bau, dan mendirikan Sakola Sunda di Ciamis dan Kawali (1876).
Bupati Bandung, Radém Adipati Wiranatakusumah IV (1846-1874) selain berhasil meningkatkan produksi kopi, ia berjasa dalam memajukan pertanian dan pembangunan daerah. Atas jasanya ia mendapat Bintang Ridder in de Orde van den Nederlanschen Leuw, sehingga ia terkenal dengan julukan “Dalem Bintang”.
Penggantinya, Radén Adipati Kusumadilaga ( 1874 – 1893) berhasil memajukan kehidupan ekonomi rakyat melalui koperasi.
Bupati Limbangan (Garut), Radén Adipati Wiratanudatar ( 1871-1915) memajukan rakyatnya dalam urusan perdagangan dan bidang pendidikan. Atas jasanya, kedua bupati yang disebut terakhir mendapat penghargaan berupa Bintang Officier in de Orde van Oranje Nassau dan Bintang Mas.
Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suria Atmaja ( 1882-1919) mendapat Bintang Mas atas jasanya menanggulangi wabah penyakit dan memajukan daerahnya.
Pada tahun 1906 ia menerima Songsong Kuning.86)
Bupati seangkatannya, yaitu Bupati Bandung Radén Adipati Aria Martanagara (1893-1918) berhasil meningkatkan produksi kopi, memproduksi genteng untuk rumah-rumah penduduk, membangun sejumlah irigasi dan jembatan, mengadakan gerakan penanaman ketela pohon, membuka dan memperluas daerah pesawahan, dan lainlain. Atas jasanya ia memperoleh penghargaan berupa Bintang Mas (Besluit 27 Agustus 1900 No. 2) dan gelar adipati (Besluit 29 Agustus 1906). Dalam bulan yang sama tahun 1909 ia mendapat Songsong Kuning (Besluit 26 Agustus 1909No. 30).
Dari raja Siam yang berkunjung ke kota Bandung, Radén Adipati Aria Martanagara menerima tanda kehormatan Officier Kroon Orde van Siam.
Bupati ini terkenal pula sebagai bupati pujangga. Karyanya antara lain Babad
SumedangWawacan Batara RamaWawacan Angling Darma, dan Babad Radén
Adipati Aria Martanagara (otobiografi).

Bidang kebudayaan juga mendapat perhatian bupati, misalnya :  
Bupati Bandung, Radén Adipati Kusumadilaga (R.A. Wiranatakusumah V) menghidupkan kesenian wayang (wayang golek, wayang kulit, dan wayang wong).
Bupati lainnya yang mendapat tanda penghargaan dari pemerintah kolonial ialah Bupati
Cianjur, Radén Prawiradireja (1863-1910) mendapat gelar adipati.
Bupati Sukapura, Radén Wirahadiningrat (1874-1906) juga memperoleh gelar yang sama
dan Bintang Oranye Nassau.
Dalam bidang pendidikan :
Bupati Sumedang, Pangéran Suriakusumah Adinata (1836 – 1882) adalah salah seorang pelopor pendiri sekolah di Priangan. Bahkan ada sekolah yang dibangun atas biaya sendiri (1867), salah seorang gurunya bangsa Belanda (G. Warnaar).
Kinerja para bupati tersebut menunjukkan, bahwa bupati di Priangan umumnya walaupun mereka menjadi aparat pemerintah kolonial tetap melaksanakan fungsi sebagai pelindung rakyat. Hal itu memang sudah pada tempatnya, karena bila tidak, mereka akan kehilangan kedudukan, khususnya kedudukan dan otoritas sebagai pemimpin tradisional.
Keberhasilan para bupati tersebut menunjukkan, bahwa mereka sekalipun menjadi objek kekuasaan kolonial tetap memiliki kekuasaan untuk menggerakkan rakyat sebagai objek kekuasaan bupati.
Perhatian bupati terhadap bidang pendidikan menunjukkan masuknya pengaruh Barat di kalangan bupati. Munculnya sekolah-sekolah, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun swasta, justru mengakibatkan kedudukan bupati menjadi tergeser oleh munculnya elit baru karena pendidikan. Sejak awal abad ke-20, pergantian bupati tidak didasarkan lagi pada kelahiran, melainkan atas dasar pendidikan, apalagi hak bupati untuk mewariskan jabatan dihapuskan (1913). Sementara itu, fungsi dan peranan bupati sebagai pengatur produksi
agraria cenderung beralih ke tangan para pengusaha swasta Belanda/Eropa.
Namun demikian, sampai dengan akhir abad ke-19, bupati tetap memiliki kharisma pribadi dan pengaruh di masyarakat karena struktur sosial setempat, walaupun tidak sekuat seperti waktu ia/mereka sedang jaya. Hal itu berarti, bupati meskipun kedudukannya terdesak oleh elit baru karena pendidikan tetap memiliki kekuasaan, karena pengaruh adalah bentuk lunak dari kekuasaan.

ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين

Creatif By : Unknown ~Amar Ma'ruf Nahi Munkar~

Anda sedang membaca artikel Sejarah Parahyangan. Yang ditulis oleh Unknown. Jika anda ingin sebarluaskan artikel ini, mohon sertakan sumber linknya. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Cari di sini :

RANDOMIZE

 
Support : Bale-bale Palupuh | TipsTrik Blogger | MTs Al-Falah Jatinangor
Copyright © 2013. MTs AL-FALAH CILELES - All Rights Reserved
Template Created by Abahvsan Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger